“Ketika
nilakandi langit menjelma merah temaram dan sang surya telah hanyut ditelan
malam, itulah masanya senja datang, menumpah tinta hitam ke wajah siang terang
benderang. Aku menangis meratapi nasib yang tak karuan tibanya. Tuhan itu Maha
Kuasa. Maka seketika saja, matahari pun terbit di tengah malam gulita dan
ribuan bintang berjatuhan ke cakrawala. Sadarlah diriku bahwa Tuhan masih
menulis catatan takdir atas mulianya niat sang insani. Tuhan tidak akan diam
mendengar isakan tangis hamba-hamba yang dikasihi’Nya. Rasullullah kulitnya tak
terjamah sengatan matahari karena cinta Tuhannya. Gapailah intensitas itu,
hingga kau yakin bahwa Tuhan mencintaimu, dan sngat mencintaimu.”
Demikian sebait catatan diary tokoh utama dalam novel Goresan Pena Ilahi ini. Kata-kata tersebut
yang juga turut serta mendongkrak semangatnya mengarungi lautan hidup yang
penuh dengan ujian dan cobaan. Sebuah novel yang mencoba menguak rahasia
pribadi Ilahi dalam sebuah bingkisan amplop bening. Namun hanya dengan mata
hati dan taqwa, yang bisa membaca suratan takdir Tuhan tersebut. Selanjutnya,
mereka pun akan berjalan di muka bumi dengan senyum ceria sekalipun darah terus
memancar dari urat leher serta nyawa mereka sudah menegak di ujung
tanduk. Fa’lam, Innallah ma’ana, abadan!